Di dalam hukum sering
kali kita mendengar perkataan “batal”
dan “tidak sah”. Ada pun arti dari kedua kata tersebut adalah sebagai berikut:
ba·tal
a 1 tidak berlaku; tidak sah: perjanjian itu dinyatakan --;
2 tidak jadi dilangsungkan; ditunda; urung: rapat kemarin terpaksa --
krn yg hadir kurang dr dua pertiga jumlah anggota; 3 tidak berhasil;
gagal: sudah berkali-kali dia menempuh ujian, tetapi selalu
mem·ba·tal·kan v 1 menyatakan batal (tidak sah): mereka - perjanjian yg pernah disetujui bersama; 2 mengurungkan; menunda: mereka sepakat - keberangkatannya krn cuaca buruk; pem·ba·tal·an n proses, cara, perbuatan membatalkan; pernyataan batal: - persetujuan perdamaian diumumkan kpd para wartawan kemarin.
mem·ba·tal·kan v 1 menyatakan batal (tidak sah): mereka - perjanjian yg pernah disetujui bersama; 2 mengurungkan; menunda: mereka sepakat - keberangkatannya krn cuaca buruk; pem·ba·tal·an n proses, cara, perbuatan membatalkan; pernyataan batal: - persetujuan perdamaian diumumkan kpd para wartawan kemarin.
sah
1 v dilakukan menurut hukum (undang-undang, peraturan) yg
berlaku: berdasarkan akta notaris, pendirian yayasan itu sudah --; 2
v tidak batal (tt keagamaan): salatnya tetap -- meskipun tidak
memakai peci; 3 v berlaku; diakui kebenarannya; diakui oleh
pihak resmi: para pelamar harus membawa surat-surat keterangan yg --;
karangan untuk media massa harus ditulis dng ejaan yg --; 4 a
boleh dipercaya; tidak diragukan (disangsikan); benar; asli; autentik: naskah
proklamasi yg dibacakan pd setiap peringatan tanggal 17 Agustus adalah naskah
yg --; 5 a nyata dan tentu; pasti: peti ini -- berisi
uang; me·nge·sah·kan v 1 menjadikan (menyatakan,
mengakui, dsb) sah: DPR telah - Rancangan Undang-Undang Perkawinan; 2
menyetujui dan menguatkan (perjanjian dsb); membenarkan: pengadilan agama
telah - perceraian suami istri itu; 3 menetapkan; memastikan: tim
dokter - kematian orang tuanya; 4 meresmikan; memberlakukan: Presiden
- pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan pd tahun 1972; pe·nge·sah·an n proses,
cara, perbuatan mengesahkan; pengakuan berdasarkan hukum; peresmian;
pembenaran: surat pengangkatannya tinggal menunggu - dr kepala kantornya; ke·sah·an n hal atau keadaan
sah (benar, asli, autentik, tidak meragukan).
Dari pengertian diatas,
kata batal adalah suatu yang menyatakan tidak berlakunya atau tidak memiliki
suatu kekuatan hukum, sehingga tidak mengikat.
Tidak sah adalah suatu
akibat dari suatu hal yang tidak memenuhi syarat-syarat tertentu yang
diwajibkan/diharuskan tetapi hal ini
tidak menyebabkan batalnya hal tertentu tersebut.
Untuk membedakan antara
makna kata batal dan tidak sah dapat kita lihat dari bebera contoh dibawah ini:
Contoh
1:
Di dalam Kitab
Undang-Undang Perdata (KUHPdt/ BW) disebutkan dalam pasal 1320 bahwa syarat
sahnya perjanjian adalah sebagai berikut:
a.
Kesepakatan para pihak yang mengikatkan
dirinya
b.
Kecakapan untuk membuat perikatan
c.
Suatu hal tertentu
d.
Suatu sebab yang halal/tidak
bertentangan dengan hukum
Mengenai syarat perjanjian tersebut dibedakan
menjadi dua bagian, yakni:
1.
Syarat Subjetif yakni kesepakatan para pihak dan kecakapan dalam
hukum.
2.
Syarat objektif yakni suatu hal tertentu
dan suatu sebab yang halal.
Apabila suatu
perjanjian memenuhi keempat hal tersebut diatas dapat disebut sebagai
perjanjian yang “sah”, namun apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi
beberapa unsur-unsur diatas dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut “tidak
sah”.
Namun hal yang menarik
perlu dibahas disini, yakni:
1.
Perjanjian apabila tidak memenuhi syarat
subjektif perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Dalam
hal ini bahwa perjanjian tersebut tidak sah, namun tetap saja berlaku secara
hukum dan mengikat bila tidak ada yang menuntut pembatalannya.(dalam bahasa
belanda disebut vernietigbaar
heid/Voidable)
2.
Bila perjanjian tersebut tidak memenuhi
syarat objektif maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam hal ini
perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat. (dalam bahasa
belandanya disebut nietig/Void)
Kesimpulan dari contoh
ini bahwa di dalam perjanjian, apabila tidak memenuhi syarat yang termaktub di
dalam Pasal 1320 KUHPdt dikatakan “Tidak Sah”. Namun, pernyataan tidak sah ini
dibedakan kembali yakni:
a.
Tidak sah, namun tetap berlaku dan
memiliki kekuatan hukum yang mengikat, bila ketidak sahnya perjanjian
dikarenakan tidak memenuhi unsur atau syarat subjektif, sepanjang tidak
dimintakan pembatalan atas perjanjian tersebut.
b.
Tidak sah dan tidak berlaku dan tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat sehingga dianggap tidak pernah ada
perjanjian, bila tidak memenuhi syarat objektif.
Perjanjian yang
dibatalkan menyebabkan tidak adanya perjanjian, sehingga tidak berlaku dan
tidak mengikat serta tidak berkekuatan hukum, sedangkan perjanjian yang “tidak
sah” masih menimbulkan adanya perjanjian dan dapat berlaku sepanjang tidak
adanya pembatalan atau tidak batal demi hukum.
Contoh
2:
Di dalam undang-undang
perkawinan diatur mengenai sahnya perkawinan. Dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 1
Tahun 1974 dikatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”
Penafsirannya bahwa
perkawinan tidak sah apabila tidak dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu.
Dan di dalam Bab IV
mengenai Batalnya Perkawinan Pasal 22
dikatakan bahwa “Perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan”.
Adapun syarat-syarat
perkawinan yang dimaksud yakni tercantum di dalam pasal Bab II, yakni:
a. Pasal
6 yaitu:
1. Perkawinan
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam
hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
4. dalam
hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
5. Dalam
hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4)
pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) dalam pasal ini.
6. Ketentuan
tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
b. Pasal
7
1. Perkawinan
hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
2. Dalam
hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau
pihak wanita.
3. Ketentuan-ketentuan
mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3)
dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi
tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6
ayat (6).
c.
Pasal 8,
Perkawinan
dilarang antara dua orang yang:
a)
berhubungan
darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b)
berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c)
berhubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d)
berhubungan
susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e)
berhubungan
saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f)
yang
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang
kawin.
d.
Pasal 9,
Seorang yang
terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam
hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.
e.
Pasal 10
Apabila suami
dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan
lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
f.
Pasal 11
1.
Bagi
seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2.
Tenggang
waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah lebih lanjut.
g.
Pasal 12
Tata cara
perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Pasal 28
1. Batalnya
suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
2. Keputusan
tidak berlaku surut terhadap :
a) anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b) suami
atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama
bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih
dahulu.
c) Orang-orang
ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan
itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Syarat Sah, Batal dan Hapusnya
Sebuah Keputusan Tata Usaha Negara
1. Syarat sah
Keputusan Tata Usaha Negara.
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking)
dapat dikatakan sah apabila memenuhi 2 (dua) syarat. Syarat-syarat sahnya suatu
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut menurut Prof. Muchsan adalah:
a. Syarat
materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan isi. Syarat materiil dibagi
menjadi 3 (tiga), yaitu:
1) Harus dibuat
oleh aparat yang berwenang;
2) Keputusan
Tata Usaha Negara tidak mengalami kekurangan yuridis;
Suatu produk hukum dikatakan
mengalami kekurangan yuridis apabila didalam pembuatannya terdapat unsur:
a) Adanya
paksaan.
Paksaan terjadi apabila adanya
perbedaan antara kenyataan dengan kehendak, sebagai akibat dari adanya unsur
eksternal.
b) Adanya
kekhilafan.
Kekhilafan terjadi apabila adanya
perbedaan antara kenyataan dengan kehendak, tetapi tanpa adanya unsur
kesengajaan.
c) Adanya
penipuan.
Penipuan terjadi apabila adanya
perbedaan antara kenyataan dengan kehendak, sebagai akibat dari tipu muslihat.
3) Tujuan
ketetapan sama dengan tujuan yang mendasarinya.
b. Syarat
formil, yaitu syarat yang berkaitan dengan bentuk. Syarat formil dibagi menjadi
3 (tiga), yaitu:
1) Bentuk
ketetapan harus sama dengan bentuk yang dikehendaki oleh peraturan yang
mendasarinya.
2) Prosedur
harus sama dengan bentuk yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya.
3) Syarat
khusus yang dikehendaki oleh peraturan dasar harus tercermin dalam keputusan.
2. Batalnya
suatu Keputusan Tata Usaha Negara
Apabila suatu Keputusan Tata Usaha
Negara (beschikking) tidak memenuhi persyaratan diatas dapat dinyatakan
batal. Batal menurut Prof. Muchsan ada 3 (tiga), yaitu:
a. Batal mutlak.
Batal mutlak adalah semua perbuatan
yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada. Aparat yang berhak menyatakan
adalah hakim melalui putusannya.
b. Batal demi
Hukum.
Terdapat 2
(dua) alternatif batal demi hukum, yaitu:
1) Semua
perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada.
2) Sebagian
perbuatan dianggap sah, yang batal hanya sebagiannya saja. Aparat yang berhak
menyatakan adalah yudikatif dan eksekutif.
c. Dapat
dibatalkan.
Dapat dibatalkan adalah semua
perbuatan yang dilakukan dianggap sah, pembatalan berlaku semenjak dinyatakan
batal. Aparat yang berhak menyatakan adalah umum (eksekutif, legislatif dan
lain-lain).
Menurut teori functionare de
faite, suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetap dianggap berlaku walaupun
tidak memenuhi syarat diatas (formil dan materiil), apabila memenuhi 2 (dua)
syarat yang bersifat komulatif, yaitu:
a. Tidak
absahnya keputusan itu karena kabur, terutama bagi penerima keputusan.
b. Akibat dari
keputusan itu berguna bagi kepentingan masyarakat.
3. Hapusnya Suatu
Keputusan Tata Usaha Negara
Suatu keputusan Tata Usaha Negara
dapat dinyatakan hapus jika memenuhi unsur-unsur dibawah ini:
a. Apabila
sudah habis masa berlakunya;
b. Dicabut atau
dinyatakan tidak berlaku oleh aparat yang berwenang (yudikatif, eksekutif dan
legislatif);
c. Apabila
dikeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara baru yang substansinya sama
dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang lama;
d. Apabila
peristiwa hukum yang menjadi motifasi lahirnya keputusan tersebut sudah tidak
relevan lagi. Hal ini didasarkan pada pendapat Van poe lie dalam teori rebus
sic stantibus yang menyatakan bahwa setiap peristiwa hukum terjadi karena
adanya motifasi-motifasi tertentu.
Nah
untuk kesimpulannya agan-agan sekalian boleh menyimpulkan sendiri....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar