Selasa, 28 Agustus 2012

PERBEDAAN BATAL DAN TIDAK SAH



 
Di dalam hukum sering kali kita mendengar perkataan  “batal” dan “tidak sah”. Ada pun arti dari kedua kata tersebut adalah sebagai berikut:
ba·tal a 1 tidak berlaku; tidak sah: perjanjian itu dinyatakan --; 2 tidak jadi dilangsungkan; ditunda; urung: rapat kemarin terpaksa -- krn yg hadir kurang dr dua pertiga jumlah anggota; 3 tidak berhasil; gagal: sudah berkali-kali dia menempuh ujian, tetapi selalu  
mem·ba·tal·kan v 1 menyatakan batal (tidak sah): mereka - perjanjian yg pernah disetujui bersama; 2 mengurungkan; menunda: mereka sepakat - keberangkatannya krn cuaca buruk;  pem·ba·tal·an n proses, cara, perbuatan membatalkan; pernyataan batal: - persetujuan perdamaian diumumkan kpd para wartawan kemarin.
             (sumber : http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php )
sah 1 v dilakukan menurut hukum (undang-undang, peraturan) yg berlaku: berdasarkan akta notaris, pendirian yayasan itu sudah --; 2 v tidak batal (tt keagamaan): salatnya tetap -- meskipun tidak memakai peci; 3 v berlaku; diakui kebenarannya; diakui oleh pihak resmi: para pelamar harus membawa surat-surat keterangan yg --; karangan untuk media massa harus ditulis dng ejaan yg --; 4 a boleh dipercaya; tidak diragukan (disangsikan); benar; asli; autentik: naskah proklamasi yg dibacakan pd setiap peringatan tanggal 17 Agustus adalah naskah yg --; 5 a nyata dan tentu; pasti: peti ini -- berisi uang; me·nge·sah·kan v 1 menjadikan (menyatakan, mengakui, dsb) sah: DPR telah - Rancangan Undang-Undang Perkawinan; 2 menyetujui dan menguatkan (perjanjian dsb); membenarkan: pengadilan agama telah - perceraian suami istri itu; 3 menetapkan; memastikan: tim dokter - kematian orang tuanya; 4 meresmikan; memberlakukan: Presiden - pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan pd tahun 1972;  pe·nge·sah·an n proses, cara, perbuatan mengesahkan; pengakuan berdasarkan hukum; peresmian; pembenaran: surat pengangkatannya tinggal menunggu - dr kepala kantornya;  ke·sah·an n hal atau keadaan sah (benar, asli, autentik, tidak meragukan).

Dari pengertian diatas, kata batal adalah suatu yang menyatakan tidak berlakunya atau tidak memiliki suatu kekuatan hukum, sehingga tidak mengikat.
Tidak sah adalah suatu akibat dari suatu hal yang tidak memenuhi syarat-syarat tertentu yang diwajibkan/diharuskan  tetapi hal ini tidak menyebabkan batalnya hal tertentu tersebut.
Untuk membedakan antara makna kata batal dan tidak sah dapat kita lihat dari bebera contoh dibawah ini:

Contoh 1:
Di dalam Kitab Undang-Undang Perdata (KUHPdt/ BW) disebutkan dalam pasal 1320 bahwa syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut:
a.       Kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya
b.      Kecakapan untuk membuat perikatan
c.       Suatu hal tertentu
d.      Suatu sebab yang halal/tidak bertentangan dengan hukum
 Mengenai syarat perjanjian tersebut dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
1.      Syarat Subjetif yakni  kesepakatan para pihak dan kecakapan dalam hukum.
2.      Syarat objektif yakni suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Apabila suatu perjanjian memenuhi keempat hal tersebut diatas dapat disebut sebagai perjanjian yang “sah”, namun apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi beberapa unsur-unsur diatas dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut “tidak sah”.
Namun hal yang menarik perlu dibahas disini, yakni:
      1.            Perjanjian apabila tidak memenuhi syarat subjektif perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Dalam hal ini bahwa perjanjian tersebut tidak sah, namun tetap saja berlaku secara hukum dan mengikat bila tidak ada yang menuntut pembatalannya.(dalam bahasa belanda disebut vernietigbaar heid/Voidable)
      2.            Bila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam hal ini perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat. (dalam bahasa belandanya disebut nietig/Void)
Kesimpulan dari contoh ini bahwa di dalam perjanjian, apabila tidak memenuhi syarat yang termaktub di dalam Pasal 1320 KUHPdt dikatakan “Tidak Sah”. Namun, pernyataan tidak sah ini dibedakan kembali yakni:
a.       Tidak sah, namun tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat, bila ketidak sahnya perjanjian dikarenakan tidak memenuhi unsur atau syarat subjektif, sepanjang tidak dimintakan pembatalan atas perjanjian tersebut.
b.      Tidak sah dan tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sehingga dianggap tidak pernah ada perjanjian, bila tidak memenuhi syarat objektif.
Perjanjian yang dibatalkan menyebabkan tidak adanya perjanjian, sehingga tidak berlaku dan tidak mengikat serta tidak berkekuatan hukum, sedangkan perjanjian yang “tidak sah” masih menimbulkan adanya perjanjian dan dapat berlaku sepanjang tidak adanya pembatalan atau tidak batal demi hukum.



Contoh 2:

Di dalam undang-undang perkawinan diatur mengenai sahnya perkawinan. Dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”
Penafsirannya bahwa perkawinan tidak sah apabila tidak dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Dan di dalam Bab IV mengenai Batalnya Perkawinan  Pasal 22 dikatakan bahwa  “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Adapun syarat-syarat perkawinan yang dimaksud yakni tercantum di dalam pasal  Bab II, yakni:
a.    Pasal 6 yaitu:
             1.     Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
             2.     Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
             3.     Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
             4.     dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
             5.     Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
             6.     Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

b.    Pasal 7
             1.     Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
             2.     Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
             3.     Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

c.    Pasal 8,
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a)    berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b)   berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c)    berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d)   berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e)    berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f)    yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin.

d.   Pasal 9,
Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.

e.    Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

f.     Pasal 11
1.      Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2.      Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

g.    Pasal 12
Tata cara perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.





Pasal 28
1.    Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
2.    Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a)    anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b)   suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c)    Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.



Syarat Sah, Batal dan Hapusnya Sebuah Keputusan Tata Usaha Negara
1. Syarat sah Keputusan Tata Usaha Negara.
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) dapat dikatakan sah apabila memenuhi 2 (dua) syarat. Syarat-syarat sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara tersebut menurut Prof. Muchsan adalah:
a. Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan isi. Syarat materiil dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1) Harus dibuat oleh aparat yang berwenang;
2) Keputusan Tata Usaha Negara tidak mengalami kekurangan yuridis;
Suatu produk hukum dikatakan mengalami kekurangan yuridis apabila didalam pembuatannya terdapat unsur:
a) Adanya paksaan.
Paksaan terjadi apabila adanya perbedaan antara kenyataan dengan kehendak, sebagai akibat dari adanya unsur eksternal.
b) Adanya kekhilafan.
Kekhilafan terjadi apabila adanya perbedaan antara kenyataan dengan kehendak, tetapi tanpa adanya unsur kesengajaan.
c) Adanya penipuan.
Penipuan terjadi apabila adanya perbedaan antara kenyataan dengan kehendak, sebagai akibat dari tipu muslihat.
3) Tujuan ketetapan sama dengan tujuan yang mendasarinya.
b. Syarat formil, yaitu syarat yang berkaitan dengan bentuk. Syarat formil dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1) Bentuk ketetapan harus sama dengan bentuk yang dikehendaki oleh peraturan yang mendasarinya.
2) Prosedur harus sama dengan bentuk yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya.
3) Syarat khusus yang dikehendaki oleh peraturan dasar harus tercermin dalam keputusan.
2. Batalnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara
Apabila suatu Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) tidak memenuhi persyaratan diatas dapat dinyatakan batal. Batal menurut Prof. Muchsan ada 3 (tiga), yaitu:
a. Batal mutlak.
Batal mutlak adalah semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada. Aparat yang berhak menyatakan adalah hakim melalui putusannya.
b. Batal demi Hukum.
Terdapat 2 (dua) alternatif batal demi hukum, yaitu:
1) Semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada.
2) Sebagian perbuatan dianggap sah, yang batal hanya sebagiannya saja. Aparat yang berhak menyatakan adalah yudikatif dan eksekutif.
c. Dapat dibatalkan.
Dapat dibatalkan adalah semua perbuatan yang dilakukan dianggap sah, pembatalan berlaku semenjak dinyatakan batal. Aparat yang berhak menyatakan adalah umum (eksekutif, legislatif dan lain-lain).
Menurut teori functionare de faite, suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetap dianggap berlaku walaupun tidak memenuhi syarat diatas (formil dan materiil), apabila memenuhi 2 (dua) syarat yang bersifat komulatif, yaitu:
a. Tidak absahnya keputusan itu karena kabur, terutama bagi penerima keputusan.
b. Akibat dari keputusan itu berguna bagi kepentingan masyarakat.
3. Hapusnya Suatu Keputusan Tata Usaha Negara
Suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat dinyatakan hapus jika memenuhi unsur-unsur dibawah ini:
a. Apabila sudah habis masa berlakunya;
b. Dicabut atau dinyatakan tidak berlaku oleh aparat yang berwenang (yudikatif, eksekutif dan legislatif);
c. Apabila dikeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara baru yang substansinya sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang lama;
d. Apabila peristiwa hukum yang menjadi motifasi lahirnya keputusan tersebut sudah tidak relevan lagi. Hal ini didasarkan pada pendapat Van poe lie dalam teori rebus sic stantibus yang menyatakan bahwa setiap peristiwa hukum terjadi karena adanya motifasi-motifasi tertentu.
Nah untuk kesimpulannya agan-agan sekalian boleh menyimpulkan sendiri....

Tidak ada komentar:

INTEGRITAS, LOYALITAS DAN KOMITMEN

integritas, komitmen dan loyalitas